
Seni gerak tradisional atau tari dalam bahasa Mandar disebut Tu’du’ dan pelakunya disebut Pattu’du. Dahulu pada pemerintah raja-raja di Mandar Pattu’du digolongkan atas 3 (tiga) macam menurut stratifikasi pelaku dan kebutuhannya.
Dari ketiga macam golongan tersebut adalah :
- Pattu’du Ana’ Pattola Paying, oleh bangsawan penuh, dipertunjukkan apabila ada upacara kerajaan;
- Pattu’du Ana’ Pattola Tau Pia, oleh keturunan hadat, dipertunjukkan apabila ada upacara kerajaan;
- Pattu’du Tau Biasa, oleh orang umum, dipertunjukkan apabila sewaktu-waktu ada acara Raja atau anggota Hadat sebagai hiburan rakyat.
Adapun jenis tari tradisional yaitu :
- Sardwang
- Kumaba’
- Cakkuriri
- Palappa’
- Losa-losa
- Sawawar
- Sore
- Dego
Pelakunya ada yang khusus anak-anak putri ada pula khusus anak-anak putra. Dilakukan dengan ayunan tangan yang lemah lembut dengan gerakan kaki yang seirama dengan pukulan gendang. Gerakan ke depan dengan angkat dan uluran tangan ke samping serta tebaran kipas silih berganti jongkok putar dan berdiri lalu maju dan seterusnya.
Dewasa ini di samping Tu’du’ tradisional yang sudah mengalami modernisasi juga telah bermunculan pula tari kreasi baru seperti : Tari Tomassenga’, Tari Pahlawan, Beru-beru to Kandemeng, Tari Layang-layang, Tengga-tenggang Lopi, Parri-parri’di’, Toaja dan lain sebagainya.
Seni Sastra
Selain mengenal Seni Tari Mandar, sekarang ini juga masih hidup dan banyak dikenal masyarakat yakni Seni Sastra Mandar.
Bentuk Sastra Mandar ada 2 (dua) yakni :
- Bentuk Prosa, yaitu karangan bentuk bebas tetapi berirama; dan
- Bentuk Puisi, yaitu karangan bentuk terikat dan berirama.
Karangan bentuk prosa disebut juga cerita, meliputi :
1) Pomolitang atau pau-pau losong (dongen), dengan menggambarkan tingkah laku binatang yang baik dan buruk, dapat dicontohi manusia, misalnya dongen I Puccecang anna I Pullado’ (Kera dengan Pelanduk), dimana kera melaksanakan sifat yang baik dan pelanduk melaksanakan sifat yang kurang baik.
2) Tolo’ (Kissah), menggambarkan liku-liku kehidupan dari seseorang tokoh dalam masyarakat misalnya kisah Tonisesse’ di Tingalor, kisah tentang seorang bidadari jatuh dari kayangan dan ditelan oleh ikan Tingalor.
3) Sila-sila (Silsilah), menggambarkan suatu kerajaan dan nama-nama rajanya secara turun temurun, misalnya silsilah raja-raja di Pamboang, Sendana, Banggae, dsb.
4) Pau-pau pasang / Pau-pau Pepasang (pesan-pesan leluhur), menggambarkan ajaran normal, nasihat dan petuah bagi kehidupan seseorang, keluarga dan bagi kehidupan masyarakat yang lebih luas, misalnya pesan orang tua terhadap anak-anaknya, pesan seorang kakek terhadap pasangan suami istri, pesan seorang sesepuh kepada warga masyarakat, pesan-pesan raja pada rakyatnya.
Karangan bentuk puisi diebut juga Kalinda’da’. Suatu bentuk penuturan perasaaan seseorang dengan untaian kalimat-kalimat indah. Terdiri dari 4 (empat) baris dalam satu bait, susunan suku kata setiap bait terdiri dari 8-7-5-7. Bersajak a.b.a.b atau a.b.b.a atau a.a.a.a.
Menurut isinya Kalinda’da’ ini terdiri dari 6 (enam) macam, yaitu :
1) Kalinda’da’ Muda Mudi;
2) Kalinda’da’ Masa’ala (keagamaan);
3) Kalinda’da’ Mappakatuna Alawe (merendahkan diri sendiri);
4) Kalinda’da’ Pepatudzu (Nasihat);
5) Kalinda’da’ Pettommuaneang (Kepahlawanan);
6) Kalinda’da’ Panginoang (Humor).
Dikutip dari Majalah MAJENE MAMMIS (hal.26),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saya Islam dan saya Orang baik. Jadi, jika ingin meninggalakan pesan atau komentar saya mohon dengan menggunakan kata-kata yang sopan.