Ritual maulid Nabi Muhammad yang dimeriahkan dengan parade totammaq adalah hal yang tak lazim bagi masyarakat Mandar dan sekitarnnya. Sebuah perayaan yang sangat meriah yang bahkan mampu menghadirkan wisatawan lokal dan manca negara tiap tahunnya sepanjang bulan di daerah kecamatan Balanipa dan sekitarnya. Bukkaweng adalah sebuah benda yang harus dimiliki oleh sebuah kelurga yang hendak mengkhatam anaknya setelah membaca Alquran, dan berikut ini adalah sebuah analisis ilmiah tentang materi tersebut.
Pertama, Materi utama bukkaweng adalah pohon pisang yang sedang berbuah, secara empirik, pohon pisang atau pisang yang dipilih sebagai materi utama bukkaweng, karena
di Mandar memang tumbuh banyak pohon pisang. Sangat banyak dijumpai di
dataran rendah sampai di lereng pegunungan, bahkan di daerah pedalaman.
Pisang juga adalah buah favorit orang Mandar sejak dulu sehingga sangat
wajar gagasan mereka yang timbul dari pengalaman (empirisme) melihat
dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Di
tahun 2003, Kaori Kaymatshu, seorang ilmuwan asal Jepang melakukan
sebuah riset di Mandar yang fokus pada buah pisang. Secara mengejutkan
ia menemukan banyak jenis pisang yang tumbuh di Mandar. Risetnya dimulai
dari Paku (perbatasan kabupaten Pinrang dan kabupaten Polman ) sampai
ke Somba di kabupaten Majene. Alhasil ia menemukan jenis pisang di
daerah tersebut mencapai seratus jenis lebih yang dibagi secara spesifik
berikut ciri-ciri ilmiah yang membedakan mereka satu sama lain. Padahal
secara kasat mata jenis pisang yang ada di Mandar tidak lebih dari 20
jenis yang bisa dibedakan dari segi bentuk dan rasanya. Beberapa di
antaranya hanya ada di Mandar.
Kedua,
setelah pohon ini dikemas sedemikian rupa untuk menjadi bagian penting
dari sebuah ritual, maka pohon pisang tersebut sudah bukan lagi pohon
pisang biasa, apalagi ditempatkan di atas rumah dengan nama khusus
yaitu, bukkaweng. Bukkaweng lengkap dengan buah pisangnya yang masih utuh. Benda
ini akan dibungkus dengan warna yang menarik dan akan ditanam ke dalam
ember yang berukuran besar dengan tumpukan tanah agar dapat berdiri
kokoh di dalam rumah dekat pusat tiang. Tidak hanya sampai di situ, bukkaweng tidak lengkap tanpa dipenuhi dengan barakkaq atau bande-bandera.
Jelas pada bagian ini sebuah pohon pisang utuh dengan tambahan
aksesoris pendukung sudah berada pada ranah simbolik yang memiliki
struktur yang bersifat imanen, pohon sebagai simbol inilah yang
menjadikan benda biasa menjadi bernilai bagi orang Mandar dalam konvensi
yang mereka sepakati.
Pertanyaan
selanjutnya adalah, makna apa yang ada di balik simbol tersebut?
jawaban atas pertanyaan ini memungkinkan kita untuk melangkah pada lapis
makna ketiga. Pohon pisang
berikut buahnya tidak dipilih secara acak atau sekenanya saja. Hanya
jenis pohon pisang kepok atau pisang batu yang menjadi pilihan, orang
Mandar menyebutnya sebagai loka manurung, loka berarti pisang dan manurung adalah penamaan pisang itu sendiri.
Menurut salah satu narasumber, pisang manurung dipilih karena tidak lepas dari nilai historis dan penamaannya. Manurung
berarti turun atau diturunkan dari langit, dimaksudkan bahwa pisang
jenis ini adalah pisang yang istimewa. Narasumber lain menyebutkan bahwa
pisang manurung bagi orang Mandar terdahulu sangat berharga, bahkan senilai dengan emas. Penamaan “Manurung”
pada pisang ini karena dahulu (bahkan sampai saat ini) pisang tersebut
berkembang biak sangat cepat di tanah Mandar, bahkan tidak ada habisnya,
dan dari hal inilah pisang tersebut diberi nama “Manurung,” (sebagai perbandingan, di Polewali ada Sumur Manurung, airnya tidak pernah habis).
Manurung
dapat dimaknai sebagai kesejahteraan ini tidak terlepas dari legenda
Tomanurung yang juga dianut oleh suku Bugis, Makassar dan Toraja.
Disebutkan bahwa, Tomanurung, sosok manusia yang suci, bertutur kata
arif dan bijaksana, awalnya muncul di hulu sungai Sa’dang yang berhulu
di pegunungan kabupaten Toraja yang kemudian bermuara ke selat Makassar
dan melalui beberapa kabupaten yang ada di Sulawesi selatan. Tomanurung
adalah sosok yang turun dari langit yang dipilih oleh rakyat
Passokkorang (sekarang kec. Luyo Polman) akhirnya dipilih sebagai raja
di tempatnya kala itu, hingga beranak pinak dan menyebar di seluruh
daratan Mandar (lihat Syah 1998).
Salah satu narasumber juga menyebutkan bahwa pisang manurung
(kepok) ini juga adalah pisang kesukaan arwah nenek moyang sehingga
menjadi pisang utama dalam beberapa ritual. Kenyataan di lapangan
memperlihatkan bahwa pisang jenis ini menjadi menu wajib setiap sesajen
pada semua acara adat di Mandar. Bahkan dikatakannya lagi, pisang jenis
lain bisa tidak dihadirkan kecuali pisang jenis ini. Orang Mandar
berharap berkah dari loka manurung, yang sifatnya subur dan mensejahterakan. Setiap menyajikan bukkaweng, sebuah baki yang berisi sesajen lain juga dihadirkan untuk arwah leluhur yang secara tersirat merujuk pada Tomanurung.
Lapis makna keempat adalah dunia ide yang terkandung pada simbol budaya tersebut. Penyajian bukkaweng
sebagai materi utama dalam perayaan maulid Nabi Muhammad adalah sebuah
olah pikir yang dimiliki oleh masyarakat Mandar sebagai sebuah sarana
untuk “mendapat berkah” dari Nabi Mauhammad saw, jelas bahwa ini adalah
pengaruh Islam dalam masyarakat Mandar. Ada campur budaya dan agama pada
kasus ini; kepercayaan masyarakat Mandar saat sebelum Islam, tidak
berbeda dengan masyarakat lainnya di Indonesia, yaitu dua kepercayaan,
animism dan dinamisme. Setelah Islam masuk sekitar tahun 1603 maka Islam
diterima dengan sangat baik, tetapi mereka tidak serta-merta
meninggalkan kebiasaan lama yang sudah mendarah darging (lihat Syah,
1998)
Cukup
sulit untuk menjelaskan bahwa apakah mereka memprioritaskan kepercayaan
kuno dan kepercayaan tentang Nabi Muhammad dalam praktik ritual Maulid
ini, sebab kedua unsur yang berbeda ini menyatu dengan sangat kental dan
nyaris tak bisa dilepaskan antara satu dengan yang lain. Penulis
menafsir bahwa ide mereka tentang bukkaweng adalah mendapat berkah dari Rasul yang melimpah dengan menggunakan medium yang sifatnya melimpah pula, yaitu loka manurung dengan segala makna filosofis-historis, dan sedikit mitos yang dilekatkan padanya. Dari hal ini timbullah istilah barakkaq (baca: barakka’).
Barakkaq secara harfiah berarti berkah, diserap dari bahasa Arab barakah dapat dimaknai sebagi perwujudan simbol-simbol keislaman yang ditancapkan pada wujud tradisi (penempatan barakkaq ditancapkann pada batang pisang bukkaweng). Jika diperhatikan, penulis memaknai penyusunan ketiga benda yang menjadi bagian utamaya adalah sebagai berikut.
Ketupat
Nabi adalah simbol Nabi Muhammad, di mana dalam ajaran Islam telah
diajarkan bahwa jauh sebelum bumi dan isinya ini tercipta, Nabi Muhammad
sebenarnya telah ada tetapi tidak dalam bentuk lahiriah sebagai
manusia, Muhammad sebagai Nur atau cahaya telah menjelma, orang Mandar
menyebutnya tajang (baca: tayang). Penjelasan seperti ini sangat banyak ditemukan dalam beberapa ajaran tasawwuf (lihat juga: Yang Mengenal Dirinya yang Mengenal Tuhannya, Rumi: 2004).
Sedangkan
simbol telur bermakna dunia, telur adalah benda bulat sebagaimana
bentuk dunia/bumi. Dengan kata lain, Muhammad yang disimbolkan ketupat
itu mendahului dunia, penciptaan dunia diawali dengan ruh Muhammad.
Seiring kelahiran (tubuh) Muhammad, sampai pada pelantikannya sebagai
Rasul akhir zaman, maka menanglah kebajikan atas kebatilan dan simbol
kemenangan ini dimanifestasikan dalam perwujudan bande-bandera atau panji-panji (susunan barakkaq: ketupat Nabi+telur+bendera/uang selembaran).
Bukkaweng ditempatkan di dekat pusat tiang rumah (posiq arriang)
yang secara filosofis bermakna, segala sesuatunya dimulai di dalam
rumah, rumah adalah tempat berteduh/berlindung, beraktifitas dan
beristirahat, juga tempat roh nenek moyang bersemayam. Ritual yang
dilaksanakan saat membangun rumah panggung di Mandar berpusat di posiq arriang, hingga segala macam sesajen, ditempatkan, titempelkan, bahkan digantung di situ. Mereka menganggap posiq arriang adalah pusat “jiwa” atau energi yang menjaga rumah.
Pada tahap akhir pemaknaan ini, pada makna kelima, kita akan tiba pada dasar asumsi masyarakat Mandar pemilik kebudayaan bukkaweng. Kita harus mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat tentang kebudayaan yang mereka jalankan (worldview), tentang apa saja yang mereka hasilkan dari olah gagasan mereka. Bukkaweng dan barakkaq bagi
masyarakat pemiliknya adalah sebuah gagasan tentang bagaimana hidup di
dunia ini selalu seiring sejalan dengan faktor di luar akal. Sesuatu
yang sifatnya nonfisik, tidak kasat mata. Unsur Islam dan tradisi asli
Mandar dipadukan dengan sangat intim dalam sebuah simbol kebudayaan
berikut pemahaman mereka tentang benda-benda yang mereka gunakan.
Masyarakat Mandar tidak serta merta menciptakann hal-hal demikian tanpa
pikir mendalam. Ada harapan yang mereka sematkan pada bukkaweng dan barakkaq.
Sedikit
catatan dari penulis, setelah khatam Alquran usai yang ditandai dengan
berakhirnya pembacaan barzanji, beberapa orang akan memperebutkan bukkaweng
untuk dimakan telur dan ketupat, serta beberapa sesajen yang dilekatkan
padan bagian bawahnya. Hal ini diakibatkan, masyarakat menganggap bahwa
berkah adalah sesuatu yang tidak semua orang bisa mendapatkannya, dan
itu harus direbut. Siapa pun yang berhasil mendapatkan barakkaq pada bukkaweng
maka akan menganggap dirinya sangat beruntung. Pada bagian inilah unsur
animisme-dinamisme dan keyakinan akan ajaran agama samawi yang dibawa
oleh Muhammad bersatu padu dalam praktik kebudayaan suku Mandar [].
Rujukan:
Alimuddin, Muhammad Ridwan. (tanpa tahun) Kebudayaan
Bahari Mandar (naskah, telah diterbitkan dalam Orang Mandar Orang Laut, 2004 oleh Kepustakaan Populer Gramedia,
Jakarta)
Rahman, Nurhayati. 2006. Cinta, Laut, dan Kekuasaan
dalam Epos La Galigo. La Galigo Press. Makassar
Syah,
Tanawali Aziz. 1998. Sejarah Mandar III. Yayasan Al-Aziz. Ujung Pandang.
Thohir, Mudjirin. (tanpa tahun)
slide bahan ajar m.k. Teori Kebudayaan tahun 2011.
Tim Prima Pena, 2011. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Gita Media Press.
Terima kasih telah membagikan tulisan saya di blog Anda.
BalasHapusDahri Dahlan.