WELCOME TO MY BLOG

Empat Belas

5.02.2015

Niuri Tobattang (Pijatan Orang Hamil Mandar)


Niuri dalam masyarakat Mandar adalah Dipijat dalam hal ini upaya penyelamatan lahirnya seorang bayi. Bagi wanita utamanya yang baru pertama kalinya hamil sudah menjadi tradisi (kebiasaan) diadakan acara niuri dalam masa kehamilan 7 sampai 8 bulan.
Untuk melaksanakan acara ini, yang lebih dahulu disiapkan yaitu : Kue-kue sebanyak mungkin, ayam betina satu ekor, tempayan berisi air, kayu api, beras dan lain-lain. Tata cara melaksanakan sebagai berikut :
  1. Wanita yang akan niuri duduk bersanding dengan suaminya, keduanya dalam busana tradisional lengkap. Wanita boleh memakai perhiasan emas seperti pattu’du boleh juga memakai boko atau pasangan berwarna biru atau putih. Keduanya disuruh memilih kue-kue yang muncul diseleranya masing-masing. Jika yang dipilih yang bundar misalnya : Onde-onde, gogos dan semacamnya maka diperkirakan akan lahir bayi laki-laki. Jika yang gepeng-gepeng misalnya : Pupu, kue lapis, katiri mandi dan semacamnya, diharapkan akan lahir seorang bayi wanita.
  2. Sesudah makan bersama, istilah Mandarnya “nipande mangidang” orang yang akan niuri dibaringkan oleh “sando peana” atau “dukun beranak” dihamparan kasur di lantai rumah. Setelah dibaringkan si dukun menaburkan beras di bagian dahi dan perut to-niuri. Kemudian ayam yang telah tersedia yang sehat dan tidak cacat di suruh mencocot beras-beras yang bertaburan tadi sampai habis.
  3. Masih dalam posisi berbaring, si dukun mengambil piring yang berisi beras ketan, telur dan lilin yang sedang menyala diletakkan sejenak di atas perut lalu ke bagian dahi, kemudian diayun-ayunkan beberapa kali mulai dari kepala sampai ke kaki. Sesudah itu ayam pencotot tadi dilambai-lambaikan ke sekujur tubuh toniuri sebanyak 3 atau 5 atau 7 kali. Sesudah itu dilepaskan melalui pintu depan dan toniuri di bangunkan.
  4. Selesai tahap ke-3,toniuri diantar ke pintu depan rumah kemudian diambil kayu-api yang masih menyala, lalu dipegang diatas kepala. Setelah itu diambil air yang telah dicampur dengan burewe tadu, bagot tuo, ribu-ribu, daun atawang dan daun alinduang, dan dengan timbah khusus disiramkan di atas kayu api langsung ke kepala dan membasahi seluruh tubuh serta memadamkan api yang masih menyala di kayu api. Sesudah itu secepatnya kayu api yang sudah padam dibuang ke tanah. Seluruh busana yang dikenakan oleh toniuri diserahkan kepada si dukun untuk dimiliki. Dalam istilah Mandarnya disebut “nilullus”. Menimba air cukup 14 kali saja.
Sementara seluruh tahap-tahap peurian berlangsung bagi keturunan bangsawan yang ada darah Bugis-Makasarnya, alat musik sia-sia dibunyikan terus dengan lagu-lagu bersifat doa yang contohnya sebagai berikut :
Alai sipa’uwaimmu
Pidei sipa’ apimmu
Tallammo’o liwang
Muammung pura beremu

Artinya :
“Ambil sifat airmu (gampang mengalir)
Padamkan sifat apimu (panas)
Keluarlah engkau
Membawa takdirmu”.
Uwai penjarianmu
Uwai pessungammu
Uwai pellosormu
Uwai pellene’mu
Uwai peoromu
Uwai pellambamu
Uwai atuo-tuoammu
”.

Artinya :
“Engkau tercipta dari air
Keluarlah merangkak, duduk dan berjalan seperti lancarnya air mengalir.
Murahlah rezekimu an dingin seperti air”.

Ada beberapa maksud-maksud tersembunyi dalam upacara niuri ini yaitu :
  • Menimba air 14 kali, dimaksudkan agar si bayi setelah dewasa, memiliki wajah seperti bulan purnama.
  • Bangot tuo yaitu semacam tumbuh-tumbuh biar dimana saja gampang tumbuh dan tumbuh subur. Bangong artinya bangun dan tuo artinya hidup. Dimaksudkan agar si bayi sampai dewasa tetap sehat bugar.
  • Ribu-ribu juga semacam tumbuh-tumbuhan yang bunganya lebih banyak dari pada daunnya. Ini dimaksudkan agar si bayi setelah dewasa menjadi orang kaya.
  • Daun atawang, dimaksudkan agar si bayi tetap terhindar dari penyakit.

1 komentar:

Saya Islam dan saya Orang baik. Jadi, jika ingin meninggalakan pesan atau komentar saya mohon dengan menggunakan kata-kata yang sopan.