Kampung Jawa di Polewali Mandar

Imigran yang baru tiba di Mapilliriver, Mandar.
Foto ini disalin dari Situs Web Tropen Museum Belanda (Pemotretan sekitar Tahun 1937)
Namanya Wonomulyo, tapi masyarakat
Polman lebih senang menyebutnya sebagai Kampung Jawa. Di daerah ini,
bahasa Jawa adalah bahasa keseharian masyarakatnya. Ketoprak, wayang dan
Campursari juga sering dipentaskan.
Menurut sejarahnya,
Wonomulyo sebelum terbentuk menjadi sebuah pemerintahan adalah wilayah
yang diperintah dalam kekuasaan Distrik Mapilli dan Distrik Tapango
sebagai daerah Swapraja.
Wonomulyo sebelumnya adalah hutan
belukar dan kemudian dibuka untuk lahan pemukiman dan lahan pertanian.
Sebelum kedatangan penduduk dari pulau Jawa melalui Kolonisasi
(Transmigrasi) dipimpin oleh kepala rombongan yang bernama R.Soeparman.
Kedatangan penduduk dari pulau Jawa
bertahap dari tahun 1937 sampai dengan tahun 1941 berasal dari Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dengan perubahan kondisi hutan
menjadi daerah pemukiman sekaligus melahirkan nama Wonomulyo yang
berarti dan Kawasan Hutan yang melahirkan kebahagiaan, kemuliaan,
kemakmuran.
Wonomulyo dalam bahasa Jawa yang terdiri atas dua
suku kata yakni: Wono yang berarti hutan dan Mulyo yang berarti Mulya.
Seiring dengan berjalannya kehidupan para transmigran maka pada tahun
1940 dibentuklah Wonomulyo menjadi Kecamatan dan didirikan pula
Poliklinik dan Masjid Raya. Setahun itu, kemudian dibangunlah irigasi
Gamo-Gamo yang luas wilayah mengairi area mulai dari dusun Lamongan
sampai dusun Kebunsari yang bertujuan untuk meningkatkan bidang
pertanian.
Kedatangan R.Soeparman bersama rombongan juga disertai
beberapa tenaga terampil di beberapa bidang seperti tenaga pengajar
(Guru), Tenaga Kesehatan yang dikepalai oleh R.Subaker, bidang pertanian
(Land Baw) yang dikepalai oleh R. Sukiran dan bidang pertanahan
dikepalai oleh Tahalele yang pada waktu itu dikenal dengan sebutan
Mentri Ukur dan sejumlah bidang lainnya. Sehingga sangat menunjang usaha
perbaikan kehidupan kearah yang lebih baik untuk para warga kolonisasi
(Transmigrasi) ketika itu.
Wonomulyo pada waktu itu membawahi
wilayah kampung, Sidodadi, Sumberjo, Sidorejo, Bumiayu, Kebun Sari,
Nganjuk, Nepo, Simbang, Kebumen.
Sebelum kolonisasi
(transmigrasi) datang di wilayah ini semua sarana telah disiapkan antara
lain Rumah Jabatan Asisten Wedana (Camat). Pendopo (Balai Pertemuan,
Selapan-selapan (tempat pertemuan selama tiga puluh lima hari)
Bedeng-bedeng (gudang-gudang penyimpanan makanan), bibit dan perkakas
pertanian, Poliklinik, Lapangan, Pasar, tanah Lanbau (perkebunan) yang
sekarang digunakan sebagai pasar ikan.
Pesangrahan artinya tempat untuk peristirahatan, menginap, tempat singgah tamu-tamu dari propinsi lain.
Untuk mengabadikan nama dari R. Soeparman, maka namanya digunakan sebagai nama jalan dan pasar di Wonomulyo.
Seiring
berjalannya waktu, kini Wonomulyo menjadi pusat perdagangan dan
pertanian di Kabupaten Polman. Dengan itu, maka Wonomulyo juga menjadi
magnet tersendiri bagi masyarakat lain (suku lain).
Dengan luas wilayah 72,82 km, kini Wonomulyo dihuni oleh 45.858 ribu jiwa.

Menurut Camat Wonomulyo, Sakinah bahwa di Kecamatan Wonomulyo dihuni oleh berbagai macam suku bangsa.
“Di sini ada suku Jawa, Mandar, Bugis dan Toraja, dan mereka berbaur dengan rapi,” kata Sakinah.
Hal
yang membuat pembauran suku dengan kehidupan yang saling menghargai
tersebut, masih berdasarkan keterangan Sakinah, bahwa di Wonomulyo
sernua suku terwadahi dengan porsinya masing-masing, disamping ada
proses pembauran melalui perkawinan silang antar suku.
Kalau dari
bahasa dan cara berbicaranya, di Wonomulyo kita akan kesulitan
membedakan mana orang Mandar, orang Jawa, ataupun Bugis, karena
rata-rata warga Wonomulyo menguasai beberapa bahasa dari suku lain.
Adalah hal yang wajar, ketika warga Wonomulyo berbicara, maka akan
muncul beberapa bahasa. Misalnya pertanyaannya menggunakan Bahasa Jawa,
maka lawan bicara tidak akan canggung menjawabnya dengan Bahasa Bugis,
dan mereka saling mengerti!.
Namun ada hal yang menarik di
Wonomulyo meskipun mereka berbeda suku, tetapi identitas mereka(termasuk
suku Jawa) masih terjaga, ini terbukti dengan budaya, adat, dan
kebiasaan orang Jawa yang masih dilakukan.
oleh Nurdin Pratama
disalin dari warta Kominfo Polman Tahun VI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saya Islam dan saya Orang baik. Jadi, jika ingin meninggalakan pesan atau komentar saya mohon dengan menggunakan kata-kata yang sopan.